Selamat Datang

Ki Bambang Asmoro: October 2006

Monday, October 30, 2006

Wayang Ensiklopedi Kehidupan


Walaupun kita hidup pada era teknologi informasi namun sebenarnya wayang masih berperan dalam menjelaskan fenomena-fenomena modern, karena dalam ceritera wayang mengandung ajaran moral yang sifatnya universal dan berlaku sepanjang jaman.
Bahwasanya wayang juga mengajarkan kita untuk mengekang hawa nafsu menahan dahaga , lapar dan agar “tapabrata” yang diartikan bukan untuk lari dari dunia nyata lalu hidup menyepi di pantai dan merendam diri di tempuran sungai. Tetapi dimaksudkan agar manusia tidak rakus, tidak menempatkan yang bersifat materiil di atas segala-galanya.

Disisi lain wayang juga mengajarkan hemdaknya manusia dalam melangkah maju tanpa was-was sampai memasuki dirinya sendiri hingga pedalaman yang sedalam-dalamnya sehingga tidak mungkin lebih dalam lagi, sampai ke akar yang yang terakhir dan berjumpa dengan dirinya sendiri. Seperti dalam lakon “Dewa Ruci”.

Wayang juga mengingatkan kepada kita bahwa sesuatu yang semula dianggap akan dapat membahagiakan hidupnya itu ternyata kalau dikejar dengan penuh nafsu sampai melampaui batas kemampuan justru akan menyebabkan malapetaka bagi pengejarnya “seperti dalam lakon Cupu manik Astagina”.

Wayang juga mendemontrasikan hukum karma (ngunduh wohing penggawe, utang pati nyaur pati, utang lara nyaur lara) Siapa yang menanam akan memetik buahnya. Menanam kebajikan akan memetik kebajikan sedangkan menanam kejahatan akan memetik kejahatan. Seperti dalam lakon-lakon “baratayudha” dan juga mengajarkan memilah-milah mana yang buruk dan mana yang baik dan yang “salah akan seleh”. Suradiro jayanikanang rat, swuh brastha tekaping ulah darmastuti atau surodiro jayaningrat lebur dening pangastuti. (Betapaun sura sakti dan besar kekuasaanya, tetapi bila untuk tujuan yang tidak benar, tidak adil dan angkara murka pasti akan sirna oleh budi luhur dan rahayu .

Sunday, October 29, 2006

Ajaran Moral Dalam Wayang


Ceritera-dalam pertunjukan wayang kulit sejatinya menampilkan ajaran moral, dimana manusia hidup diharapkan dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Tamsil etika nilai-nilai dalam wayang biasanya disampaikan secara tegas misalnya jangan membunuh, jangan berdusta, jangan berkhianat, tidak boleh marah, tidak boleh munafik dan lain sebagainnya.

Hal lain yang ditampilkan dalam pergelaran wayang adalah soal dilema atau pilihan. Manusia hidup ternyata selalu dihadapkan dengan pilihan. Tetapi apapun pilihannya manusia toh harus memilih, meski pilihan atau keputusan yang diambilnya tid fak pernah sempurna. Hal ini menunjukan bahwa manusia secara spikologis dan filosofis selalu dihadapkan dengan problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan sempurna. Kemudian manusia harus mampu berdiri di salah satu pihak, mau yang baik atau yang buruk misalnya;
  • Jamadagni harus memilih membunuh istrinya atau membiarkan istrinya berdosa
  • Rama Parasu harus memmilih membunuh Ibunya atau menentang perintah Ayahnya
  • Harjuna sasra Harus memlilih meninggalkan tahtahnya atau mencari Nirwana
  • Wibisana harus memilih ikut angkara atau ikut kebenaran.
  • Sri Rama Harus memilih, mengorbankan rakyatnya atau mengonbankan cintanya.

    Sesudah manusia berani menetapkan pilihannya maka barulah keputusan dan tindakan manusia itu berarti dan bermakna bagi kehidupannya. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasarnya maka sebenarnya manusia tidak menjalani kemanusiaaanya atau eksistensinya. Jadi dengan demikian setiap tindakan manusia akan selalu didukung oleh suatu sikap etis. Ia tidak akan dapat lari dan melepas tangung jawab dari tindakan-tindakannya. Inilah salah satu ajaran wayang tentang bagaimana manusia harus bersikap.

Thursday, October 12, 2006

Makna Simbolik Dalang dan Wayang


Peranan Dalang dan Wayang kulit dalam pergelaran wayang menurut Zoetmulder bahwa dalam Serat Centhini jilid IX teks yang berupa tembang Megatruh disebutkan simboliknya sebagai berikut:

Janma tama karya lajem ing pandulu
Sasmitaning Hyang sejati
Dalang lan wayang dinunung
Panganggone Hyang Mawarni
Karyo Upameng pandulon

Kelir gumelar wayang pinanngung
Asnapun makluk ing widi
Gedebog bantala wegung
Balencong pandoming urip
Gamelan gending ing lakon

(maklumlah) oleh manusia sempurna itu dijadikan sasmita (lambing) yang menunjuk kepada Tuhan. Dalang dan wayang diberikan tempat (Arti) yang sejati, yaitu sebagaimna cara menggambarkan bagaimana Tuhan Bertindak . Orang Bijak membuat perumpamakan sebagai berikut.:

Kelir itu jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makluk-makluk Tuhan. Batang pisang adalah Bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara per peristiwa. (1991:290-291).

Pada uraian di atas jelas digambarkan bahwa perangkat pergelaran wayang kulit merupakan simbolik yang sangat jelas, namun dalang sebagai symbol Tuhan mestinya kurang tepat. Meski dalam sajian pergelaran, wayang menjadi hidup atau mati karena kehendak sang Dalang. Karena Tuhan tidak dapat personifikasikan dengan bentuk apapun serta hanya dapat diketahui melaui sifat-sifatnya.

Adhikara memaknai lain, dalang simbolik dari jiwa, wayang sebagai raga dan Tuhan sebagai orang yang menanggapnya. Tuhan memang tidak terlihat, ia digambarkan sebagai orang yang nanggap wayang karena waktu pergelaran tidak dapat dilihat penonton. Boneka wayang hidup karena jiwa yang beujud Ki Dalang. Jika pergelaran telah selesai wayang ditinggalkan dalang (raga ditinggalkan), wayang dimasukkan kotak (peti) sebab sudah mati sedangkan dalang masih hidup.

Simbol Pewarnaan Wayang


Warna-warna pada wajah (muka) boneka wayang yang disimping (diatur berjajar) seperti merah, hitam, kuning dan putih juga mempunyai makna simbolik. Keempat warna itu bagi orang jawa melambangkan nafsu amarah, aluamah, sufiah dan mutmainah. Warna-warna itu tidak mengandung satu makna saja tetapi mempunyai makna ganda. Warna merah pada muka Rahwana berbeda artinya dengan warna merah pada Baladewa. Demikian juga setiap daerah mempunyai penafsiran sendiri-sendiri sesuai dengan persepsinya.

Susunan wayang simpingan di dalamnya terdapat unsur kanan-kiri, baik-buruk, halus –kasar. Pewarnaan muka wayang merupakan satu kesatuan. Simpingan kanan dan kiri sebagai lambang baik buruk tidaklah tepat karena di simpingan kanan juga terdapat beberapa wayang yang berkarakter jelek sedangkan di simpingan kiri juga ada beberapa tokoh wayang yang berkarakter baik.

Demikian juga mengenai makna simpingan kanan dan simpingan kiri tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan (kiri) dan kebaikan (kanan). Simpingan kanan dan kiri merupakan makna symbol kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduannya saling mengisi dan melengkapi. Tidak dapat ditarik suatu garis yang tegas antara baik dan buruk atau jahat, karena keduannya untuk mencari kompromi atau keseimbangan dari dua kutub yang saling berlawanan. (Rusmadi: Makna Simpingan Dalam Pertunjukan weayang kulit)

Simbol dan Dikotomik Jawa



Makna atau lambang pada simpingan tidak lepas dari kehidupan masyarakat jawa yang mengenal pembagian dikotomik antara kanan dan kiri, baik dan buruk, kawula dan gusti, terang-gelap, hitam-putih dan sebagainnya.

Bagi orang jawa, perbuatan yang mengarah ke kanan atau dilakukan dengan tangan kanan dianggap baik dan perbuatan yang mengarah ke kiri atau dilakukan dengan tangan kiri dianggap buruk adalah tidak mutlak karena tangan kanan sering juga digunakan dalam tindak kejahatan seperti mencuri dan dan membunuh). Halus menunjukan kekuatan batin, dan dapat mengontrol diri, adapun kasar sebaliknya. Jadi persepsi simpingan yang menganggap bahwa simpingan kanan itu lambang kebaikan sedangkan simpingan kiri lambang angkara murka tidaklah benar.

Wednesday, October 11, 2006

Beberapa Komponen Pergelaran

sebuah pertunjukan wayang kulit terdiri dari bebrapa komponen yang satu sama lainnya saling mendukung. Komponen- komponen itu berupa perangkat keras dan lunak. perangkat keras meliputi semua peralatan pendukung pergelaran seperti; gamelan, wayang. layar, sounsistem, kotak, keprak, cempolo, sounsistem dsb. Sedangkan perangkat lunak lebih kepada SDMnya seperti Dalang, nayaga dan pesinden.

Boneka wayang yanng diatur berjajar pada kanan -kiri dalang dinamakan simpingngan yang juga salah satu unsur pergelaran wayang kulit.Yang ditata sedemikian rupa. Keberadaan simpingan dalam wayang mempunyai beberapa fungsi antara lain:
1. Simpingan sebagai hiasan (pajangan) agar bisa dinikmati oleh penonton.
2. Untuk mempermudah dalang dalam mencari dan mengambil wayang
3. Sebagai tanda akan adanya pergelaran wayang kulit.
4. Simpingan untuk menunjukan kualitas dan kuantitas wayang.
5. Simpingan mempunyai makna simbolik bagi masyarakat pendukungnya.

Pada jaman dulu simpingan hanya terdiri dari puluhan wayang. Karena memang jumlah wayang satu kotak berkisar antara 180-250 wayang. tetapi sekarang terutama dikota-kota besar, jumlah simpingan sangat banyak antara 250 -500 wayang. Hal ini karena tuntutan pasar dan biasanya pergelaran di kota besar ditempatkan pada lapangan terbuka. Sehingga diperlukan penataan simpingan yang panjang.

Pergelaran Wayang

Pergelaran Wayang kulit sendiri merupakan simbolik dunia makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos adalah dunia tempat peristiwa kehidupan manusia digelar, mulai dari kelahiran, pernikahan, pemberontakan, pembangunan dan sebagainnya.

Di dalam pergelaran wayang kulit peristiwa kehidupan seperti itu dimanifestasikan dalam lakon, misalya;

1. Kelahiran : Lakon Gatutkaca lahir

2. Pernikahan: Rabine Premadi

3. Pemberontakan : lakon Kangsa Adu Jago.

4. Pembangunan : Lakon Mbangun Candi saptaharga dsb.

Sedangkan mikrokosmos adalah dunia yang berada di dalam diri manusia yang berupa nafsu-nafsu baik dan jahat. Di dalam pergelaran wayang kulit dilambangkan peperangan antara satriya dan raksasa dalam adegan perang kembang, lakon Dewa Ruci dan Ciptoning yang melukiskan pencarian kesempurnaan hidup.

Tuesday, October 10, 2006

Mayang Kenangan


Kira-kira tahun 1998 Saya Dalang di rumah seorang Dalang sepuh (senior) Ki Warsino Guno Sukasno di Baturetno Wonogiri. Dalam acara rutin "Suran".
Sudah menjadi tradisi setahun sekali Ki Warsini mengundang salah satu Dalang untuk mendalang di kediamannya. Dalang dari seluruh Wonogiri Solo dan sekitarnya biasanya hadir untuk ngalap berkah.
Tidak hanya para Dalang tetapi beberapa pejabat penting juga berkenan hadir. Pada saat saya , mendalang Walikota Surakarta waktu itu hadir, Bupati Wonogiri yang baru menjabat Begug Purnomosidhi juga hadir, termasuk Frengki Welirang Dirut Bogasari juga hadir ditengah para Dalang.
Dalam pergelaran tersebut menggelar Lakon "karna Tandhing" diringi Karawitan Mayangkoro yang sebagian besar mantan "Condhong Raos" (Ki Saguh Hadi Carito, Sajuri, Gathot Saminto, dkk) Pesinden ; Ny.Suyatmi, Ny. Berowati, dengan Bintang Tamu Gogon. Seniman -seniwati se Kabupaten Wonogiri hadir pada kesempatan tersebut.

Pulau Hidra Yunani

Tempat saya berdiri adalah tempat dimana akan didirikan panggung pergelaran wayang kulit purwa padat, berkaitan dengan pekan Budaya yang diselenggarakan oleh UNESCO serta festifal wayang dunia di Yunani. tetapi jangan dikira panggungnya seperti di Indonesia, tinggi panggung hanya sekitar 5 cm dari permukaan tanah, jadi ya papan digelarlah....

Lucunya karena wayang di publikasikan pupet...maka sebagian besar yang nonton peminatnya anak-anak. Meski orang dewasa juga banyak yang hadir.

Di tempat festivalnya bekas Castil, wayang mendapat sambutan yang luar biasa, karena memang diangggap sangat unik dan langka, mulai dari perabotan, wayang, gamelan, cara memainkannya, penggarapan iringan, lakon dsb. jauh sebelum wayang dinobatkan UNESCO menjadi salah satu karya agunng budaya dunia yang diwakili Ki Manteb Soedarsono, wayang sudah memperoleh medali emas di UNESCO cabang Yunani, melalui pentas Ki PurboAsmoro Dkk mewakili SENAWANGI.

Simpingan dan Makna Keseimbangan


Penataan wayang simpingan kecuali mempertimbangkann besar kecilnya ukuran serta pengelompokan wayang, juga memperhatikan bentuk keseimbangan. Seperti yang dikemukakan A.A.M. Djelatik, bahwa sudah menjadi sifat alami manusia dalam menempatkan dirinya terhadap alam sekitarnya atau lingkungan hidupnya yang menghendaki keseimbangan.

Manusia lahir, belajar berdiri hinga berjalan membutuhkan keseimbangan. Rasa seimbang dirinya sendiri maupun seimbangn dengan lingkungannya suadah menjadi naluriah yang kekal dalam jiwa manusia. Naluriah keseimbangan itu juga berepengaruh pada proses penciptaan karyaseni termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rasa keseimbangan yang paling mudah dapat dicapai adalah simetri, seperti yang ada di Candi Bentar, Garuda Pancasila, daun-daun, bunga-bunga, kupu-kupu dll semua ada disekitar kita. Kehadiran rasa keseimbangan diperlukan karena akan memberikan rasa ketenangan.

Begitu pula dalam wayang, contoh konsep keseimbangan itu ada pada wayang Gunungan atau kayon. Penataan simpingan kanan dan kiri pada pergelaran wayang juga memiliki bobot keseimbangan yang sama. Menurut M. Sayid, bahwa dalam penataan wayang simpingan diperlukan keseimbangan yang dikemukakan sebagai berikut:

Anyumping tegese saka tembung sumping, umpamane asemsumping sekar melathi, yaiku sepasang kembang mlathi klatlesepake ing kuping. Iya kudu milih kembang kang padha kanggo rerengganing kuping. Iku mau tegese tembung sumping, Gawe sesawangan kang katon timbang yen sinawang saka tengah-tengah. Semono uga nyumping wayang.
………………………………………………………………………………………….
sumpingan kiwa lan tengen carane ngatur kudu digawe padha, supaya yen disawang bisa katon timbang aja nganti katon botsih.

Walau demikian simpingan wayang kanan dan kiri tidak akan sama persis, dikarenakan ukuran dan jenis wayangnya berbeda, wayang kanan kanan lebih ramping (di dominasi kesatriya) sedangkan wayang kiri lebih gemuk (di dominasi raksasa).

Keseimbangan dalam pergelaran wayang tidaklah diartikan sama persis antara sisi kanan dan kiri, tetapi hendaknya lebih kepada harmonisasi penantaan panggung secara keseluruhan baik penataan wayang, gamelan, sajen, sounsistem, ubarampe dsb.

Monday, October 09, 2006

Werkudara Sangggem


Werkudara wanda sanggem ini pemberian Alm. Ny, Suharni Sabdhowati, Kedung Pringkil, Gondang , Sragen, Jawa Tengah, Indonesia. Babon asli wayang ini adalah milik Alm. Ki Gondo Darsono, Gondang, Sragen. Sedangkan Gapit (tangkai) wayangnya dari Alm. Ki Mulyanto mangku Darsono, Ngundakan, Gondang, Sragen yang juga guru "Sabet saya".

Hampir semua Dalang muda yang berguru ("berkiblat") kepadanya mempunyai Werkudara wanda sanggem, yang konon sebagai tanda bahwa Dalang tersebut pernah berguru kepada Ki Gondo darsono.

Pengertian Sanggem sendiri dapat diatikan sanggup, dan menurut Ki Gondosarsono, yang memberi nama sanggem bukanlah Ki Gondo tetapi seorang anak (bocah) yang menonton wayang dan kebetulan sedang bedada di sisi kanan Dalang serta sedang memegang-megang werkudara.

Anak tersebut bilang "Wah Werkadarane sanggem iki". Celotehan anak itu samapi di telinga Ki Gondo Darman. Entah karena ocehan anak polos ini dianggap lebih suci dari pada omongan orang dewasa atau bagaimana, yang jelas semenjak peristiwa itu Ki Gondo Darsana menamakan wayang Werkudara tersebut dengan nama "KYAI SANGGEM".

Kayon Wali


Kayon Wali ini Karya Ki Entus Susmono Dalang Kondang dari Tegal, Jawa tengah Indonesia. Bertuliskan huruf arab Allah Muhammad dan Zhiluul auliya. Pemberian (Tahun 2005) saat saya mampir di rumah beliau lebaran tahun lalu. Sisi bawah nampak dua Gupala yang memegang pena dan secarik alat tulis.

Kayon Wali


Kayon Wali ini Karya Ki Entus Susmono Dalang Kondang dari Tegal, Jawa tengah Indonesia. Bertuliskan huruf arab Allah Muhammad dan Zhiluul auliya. Pemberian (Tahun 2005) saat saya mampir di rumah beliau lebaran tahun lalu.

Kayon Wali ini Karya Ki Entus Susmono Dalang Kondang dari Tegal, Jawa tengah Indonesia. Bertuliskan huruf arab Allah Muhammad dan Zhiluul auliya. Pemberian (Tahun 2005) saat saya mampir di rumah beliau lebaran tahun lalu. Sisi bawah nampak dua Gupala yang memegang pena dan secarik alat tulis.

Sisi Lain Kayon Wali


Sisi Lain Kayon Wali Karya Ki Entus susumono . Dilihat dari dekat namapak jelas sekali tulisan "Zhilul aluiliya" di kubah Masjid serta bulan bintang yang adad di atasnya.

Sunday, October 08, 2006

Tentang Arjuna


MENURUT versi Mahabharata, Arjuna adalah putra Batara Indra dengan Dewi Kunti. Itulah sebabnya ia disebut Indratanaya (Indraputra), artinya anak Batara Indra. Di India, Arjuna adalah seorang ksatria yang ideal, seorang prajurit. Ia merupakan tokoh yang memiliki kualitas kepahlawanan. Menurut pedalangan Jawa, Arjuna (Janaka), adalah putra Prabu Pandudewanata (raja Hastina) dengan Dewi Kuntitalibrata. Ia putra ketiga dengan urutan sebagai berikut:
1. Raden Puntadewa,
2. Raden Wrekudara,
3. Raden Arjuna (Janaka).
Kasatrian (tempat tinggal) nya di Madukara. Patihnya bernama Patih Rata (Surata). Arjuna adalah sosok tokoh yang kaya akan pengetahuan dan ilmu (Jw: buntas ing kawruh lawan ngelmu), kaya akan senjata dan mantera (Jw: sungih gaman lan mantram), kaya akan istri (Jw: sugih bojo).
  • Arjuna kaya akan ilmu. Di mana ada pendeta sakti (Jw: pandhita sing gentur tapane, mateng semadine, sidik paningale) didatangi, ditimba ilmunya sampai tuntas/habis.
  • Kaya akan senjata dan mantera.

Karena kegemarannya berguru, bertapa dan menolong orang, Arjuna memiliki banyak pusaka. Pusaka yang berupa panah:

  • Arda Dadali/Roda Dadali,
  • Haryas Sangkali,
  • Saratama,
  • Mercujiwa,
  • Brahmasirah,
  • 6. Agneyastra,
  • Pasopati.

Yang berwujud busur namanya Kiai Gandhewa. Yang berupa cambuk namanya Kiai Pamuk. Yang merupakan warisan dari orangtuanya (Prabu Pandu) adalah Panah Merdaging, keris Kiai Kalanadah dan Kiai Pulanggeni. Yang berupa mantera: aji Sepiangin, Malayabumi, Sempaliputri, Tunggengmaya, Asmaragama (Kamasutra).

Kaya akan istri. Di dunia pedalangan secara resmi istri Arjuna ada sembilan orang putri, mereka adalah:

  • Dewi Wara Sumbadra, putri Mandura, berputra Abimanyu.
  • Dewi Wara Srikandi, putri Pancala, tidak berputra.
  • Dewi Larasati (Rarasati), dari kademangan Widarakandang, berputra Sumitra danBratalaras.
  • Dewi Ulupi (Dewi Palupi), putri Begawan Jayawilapa dari pertapaan Yasarata, berputra Bambang Irawan.
  • Dewi Jimambang, putri Begawan Wilwuk ((Wilawuk) dari pertapaan Pringcendani, berputra dua orang: Kumaladewa dan Kumalasekti.
  • Dewi/Endang Manuhara, putri Resi Sidanggana dari pertapaan Andongsekar, berputra dua orang putri bernama Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.
  • Dewi Dresanala, putri Batara Brama, berputra Wisanggeni.
  • Dewi Wilutama, seorang bidadari, berputra Wilugangga.
  • Dewi Supraba, seorang bidadari, berputra Prabakusuma..Meskipun Arjuna sakti dan menguasai banyak ilmu, namun ia tidak sombong. Ia hidup bergaya ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Gaya ilmu padinya terpancar dari sikapnya yang pendiam, sopan santun, tahu menghargai orang lain. Karena kematangan jiwanya, ia mampu menahan marah. Jika marah biasanya Arjuna menggigit bibirnya (Jw: nggeget lathine).
Wayang kulit Arjuna memiliki tiga wanda: 1. Wanda Jenggleng (Jimat), untuk jejer, sunggingan brongsong (brom/prada emas), 2. Wanda Yudasmara (Kadung), untuk pertemuan dengan putri, sunggingan brongsong, 3. Wanda Kinanthi, untuk perang, sunggingan muka hitam, badan prada emas.

Makna dan Fungsi "Gunungan/Kayon"


Gunungan bagian muka menyajikan lukisan bumi, gapura dengan dua raksasa, halilintar, hawa atau udara, dan yang asli ada gambar pria dan wanita. Tempat kunci atau umpak gapura bergambarkan bunga teratai, sedang diatas gapura digambarkan pepohonan yang banyak cabangnya dengan dedaunan dan buah- buahan. Di kanan-kiri pepohonan terlihat gambar harimau, banteng, kera, burung merak, dan burung lainnya. Di tengah-tengah pepohonan terdapat gambar makara atau banaspati ( wajah raksasa dari depan). Di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad yang mempunyai arti 3441 dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.

Fungsi dari gunungan ada 3 yakni:
  • Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
  • Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
  • Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu (menghilang/berubah bentuk).

Kata kayon melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya yang mengalami tiga tingkatan yakni:
  • Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup.
  • Hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
  • Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.

Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup. Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak.

Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-sethan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).


Dari kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah badan kasar manusia yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu, dan Bantala, sedang Banu merupakan zat makanan utamanya.
Makna kayon adalah hidup yang melalui mati, atau hidup di alam fana. Kayon dapat pula diartikan pohon hidup atau pohon budhi tempat Sang Budha bertapa. Kayon dapat disamakan dengan pohon kalpataru atau pohon pengharapan. Dapat pula disebut bukit atau gunung yang melambangkan sumber hidup dan penghidupan.

Semar Selayang Pandang


Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut BadranayaBebadra = Membangun sarana dari dasarArtinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusiaFilosofi, Biologis SemarJavanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik".Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat". Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.ciri sosok semar adalahSemar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tuaSemar tertawannya selalu diakhiri nada tangisanSemar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawaSemar berprofil berdiri sekaligus jongkokSemar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnyaKebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi:Naya = Nayaka = Utusan mangrasul


Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya "merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : "dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup".Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati DiriDalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan " Abdi " Pamomong " yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah " menjelma " ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 )
Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe " sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana " menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar " cahaya ". jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 - Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti " pimpinan rahmani " yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ).
Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling " rasa ingat " ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon " Semar Mbabar Jati Diri ". gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut.
Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 - Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon " Semar Mbabar Jadi Diri " diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi " ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka.
Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka. (dening:Panembahan Pramana Seta)

Dursasana Jambak


Salah satu adegan Dursasana Jambak (foto: Ki Bambang Asmoro). Lakon ini tergolong lakon Faforit. Dursasana Jambak Pakeliran Padat dengan durasi 1,5 jam telah beberapa kali tayang di TVRI dengan Dalang Ki Bambang Asmoro. Naskah dan sanggit Lakon disusun sendiri oleh KI Bambang Asmoro, konsultasi dengan beberapa Dalang Kondang, diantaranya Ki Purbo asmoro, Ki Sridadi Among Rogo, Ki Entus Susmono, Nyi. Rumiati Ajang Mas dan penulis buku Yanusa Nugraha.
Lakon ini sebenarnya diperuntukan guna lomba Dalang Tingkat Nasional Tahun 2005 di Surabaya. Konon naskah yang disajikan harus naskah yang belum pernah ada, sanggit dan penulisan baru oleh peserta lomba. Tetapi apa hendak dikata, lakon yang dipersiapkan selama 2 tahun ternyata harus kandas, kalah dengan Dalang yang hanya mampu menyajikan karya orang lain (bukan susunan sendiri). Itu bisa terjadi karena trend jaman sekarang meski hanya lomba Dalang tetapi tetap dipolitisir oleh pengurus organisasi pedalangan di Jakarta.

Penafsiran Tentang "Panakawan"


TOKOH punakawan yang terdiri atas Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong, adalah tokoh-tokoh yang selalu ditunggu-tunggu dalam setiap pergelaran wayang di Jawa. Sebenarnya, dalam cerita wayang yang asli dari India tidak ada tokoh punakawan. Punakawan hanyalah "bahasa halus" dan "bahasa komunikatif" yang diciptakan oleh para sunan/wali di tanah Jawa. Para tokoh punakawan dibuat sedemikian rupa medekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam. Para Wali dalam penyebaran agama Islam selalu melihat kondisi masyarakat--baik dari adat istiadat maupun dari budaya yang berkembang saat itu. Wayang merupakan suatu media efektif untuk menyampaikan misi ini. Namun, para wali memandang bahwa cerita wayang yang diusung dari negara asalnya, India, ternyata banyak yang berbau Hindu, animisme, dan dinamisme. Mereka juga melihat pakem wayang India tersebut kurang komunikatif.

Masyarakat hanya diminta duduk diam melihat sang dalang memainkan lakonnya. Tentu tidak semua orang mau untuk menikmati adegan demi adegan semacam ini semalam suntuk. Maka, para wali menciptakan suatu tokoh yang sekiranya mampu berkomunikasi dengan penonton, lebih fleksibel, mampu menampung aspirasi penonton, lucu, dan yang terpenting, dalam memainkan para tokoh punakawan ini sang dalang dapat lebih bebas menyampaikan misinya karena tidak harus terlalu terikat pada pakem.

Tokoh punakawan dimainkkan dalam sesi gara-gara. Jika diperhatikan secara seksama ada kemiripan dalam setiap pertunjukan wayang antara satu lakon dan lakon yang lain. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan bunuh-membunuh antara tokoh-tokohnya hingga lakon gara-gara dimainkan. Mengapa? Dalam falsafah orang Jawa, hal ini diartikan bahwa janganlah emosi kita diperturutkan dalam mengatasi setiap masalah. Lakukanlah semuanya dengan tenang, tanpa pertumpahan darah, dan utamakan musyawarah. Cermati dulu masalah yang ada, jangan mengambil kesimpulan sebelum mengetahui masalahnya.

Ketika lakon gara-gara selesai dimainkan, barulah ada adegan yang menggambarkan peperangan dan pertumpahan darah. Itu dapat diartikan bahwa jika musyawarah tidak dapat dilakukan maka ada cara lain yang dapat ditempuh dalam menegakkan kebenaran. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang tidak berbeda dengan tahap-tahap yang ada dalam dunia perwayangan ini. Dalam mengajak pada kebenaran/mencegah kemungkaran, para pendakwah awalnya harus memberi peringatan (Bi Lisani) dengan baik; jika tidak mau, beri peringatan dengan keras; jika tidak mau, kita dapat menggunakan kemampuan maksimal kita dalam mengupayakan penegakan kebenaran (termasuk Jihad, mungkin).

Nah, lakon gara-gara jelas sekali menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar kelihatan jelas.Ini merupakan suatu hasil dari sebuah doa yang terkenal Allahuma arinal Haqa-Haqa warzuknat tibaa wa'arinal bathila-bathila warzuknat tinaba. Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukilah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya. Semua menjadi jelas mana yang benar dan yang salah. Hingga akhir dari cerita wayang, para tokohnya yang berada di jalur putih akan memenangkan pertempuran melawan kejahatan, setelah benar-benar mengetahui mana jalan yang benar dan mengerti masalahnya.

Makna nama tokoh

Apa makna yang terkandung dalam setiap tokoh punakawan ini? Mari kita amati satu persatu:
Semar: aslinya tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Dalam lidah jawa kata Is--biasanya dibaca Se. Ambillah contoh Istambul menjadi Setambul. Ismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai. Advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Paku di sini dapat juga difungsikan sebagai pedoman hidup, pengokoh hidup manusia. Apa pengokoh hidup manusia itu? Tidak lain adalah agama. Sehingga, semar bukanlah tokoh yang harus dipuja, tapi penciptaan semar hanyalah penciptaan simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.

Nala Gareng: juga diadaptasi dari kata Arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa pula kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata Naala Qariin, artinya memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para wali sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) untuk kembali kejalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.

Petruk: diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan Tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwallahi, yang artinya: tinggalkan semua apa pun selain Allah.Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para wali dan mubalig pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang berlobang. Maknanya bahwa setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, tanpa pamrih dan ikhlas, seperti bolongnya kantong yang tanpa penghalang.

Bagong: berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan. Dalam versi lain kata Bagong berasal dari Baqa' yang berarti kekal atau langgeng, artinya semua manusia hanya akan hidup kekal setelah di akhirat nanti. Dunia hanya diibaratkan mampir ngombe (sekadar mampir untuk minum).

Para tokoh punakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada prinsipnya setiap manusia butuh yang namanya pamomong, mengingat lemahnya manusia. Pamomong dapat diartikan pula sebagai pelindung. Tiap manusia hendaknya selalu meminta lindungan kepada Allah SWT, sebagai sikap introspeksi terhadap segala kelemahan dalam dirinya. Inilah falsafah sikap pamomong yang digambarkan oleh para tokoh punakawan.

Alangkah disayangkan jika beberapa tokoh punakawan seperti semar dipuja-puji layaknya dewa oleh sebahagian penganut aliran kepercayaan. Padahal jelas sekali semua tokoh yang ada hanyalah merupakan ciptaan para wali untuk menyimbolkan suatu keadaan dalam misi dakwah mereka menyebarkan Islam. Sebagai contoh Semar diceritakan sebagai seorang dewa (bathara Ismaya kakak bathara Guru) yang turun ke bumi dengan menjelma menjadi manusia biasa untuk menjalankan sebuah misi suci.

Hal ini sebenarnya cukup tepat untuk menggambarkan cara Allah SWT menurunkan Islam pada umat manusia dengan tidak menghadirkan sosok Allah langsung sebagai Tuhan di muka bumi. Niscaya semua manusia akan menjadi Islam, jika Allah langsung menyebarkan Islam di bumi. Lalu di manakah letak kemerdekaan manusia, jika demikian? Manusia dibiarkan memilih semua ajaran yang ada. Mengingat, manusia diberikan kebebasan untuk menentukan nasibnya kelak di akhirat, sesuai dengan pilihannya di dunia. Maka, sosok Semar sebagai dewa pun harus dijelmakan sebagai sosok manusia dahulu, untuk tetap menjaga kodrat manusia sebagai makhluk yang bebas memilih. Lihatlah pula kata Semar Badranaya. Badra berarti kebahagiaan dan naya berarti kebijaksanaan.

Untuk menuju kebahagiaan, yaitu dengan cara memimpin rakyat secara bijaksana dan menggiringnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Negara akan stabil jika semar bersemayam di pertapaan Kandang Penyu. Maknanya adalah untuk mengadakan penyuwunan (penyu-) atau permohonan kehadiran Allah SWT. Jelas sekali misi dakwah yang terkandung di sini, yang diceritakan dan diartikan sendiri maknanya oleh sang pembuat yaitu para wali.

Bukti Lain Adanya "Simpingan"


Bukti lain yang menyatakan pertunjukan wayang kulit pada abad XII menggunakan simpingan terdapat juga pada kitab Bomakawya pada diskripsi perjalanan Samba ketika melintasi daerah pegunungan yang dilukiskan sebagai berikut:

“ Lumaku tikang rathagelis, palapat hanar kajawahan hawan ira sumare sakeng geger, papagan katon kakeliran limut awayang, ulah nikang pisang (Bomakawya VI:3)

Terjemahan bahasa Indonesia:

“Kereta membawa dengan cepat lewat jalan turun dari punggung gunung menuju satu tempat yang datar dan baru saja dibasahi oleh turunya hujan. Sawah-swah terselubung akbut, seolah-olah tersembunyi di belakang kelir. Pohon-pohon pisang yang bergoyang-goyang lembut , bagaikan boneka wayang (Zoetmulder 1985:266)

Selanjutnya timbulnya simpingan dapat diketahui pada jaman Demak ketika Raden Patah menjadi Raja. Boneka wayang kulit sudah mengalami perkembangan, yakni perubahan bentuk dan penambahan wayang baru yang dilakukan oleh para WALI. Hal ini dikemukakan oleh Hazeu sebagi berikut:

”Sunan Giri menambah wayang berujud kera dengan dua mata seperti raksasa. Sunan Bonang menambah wayang berupa Gajah, kuda dan rampogan. Sedangkan Sunan Kalijaga membuat peralatan wayang kulit berupa layar, batang pisang untuk menancapkan wayang serta Blencong (lampu). Sultan Demak menambah jenisnya berupa Gunungan yang ditancapkan di tengah kelir, serta cara-cara menyumping (mengatur wayang di layar) yakni dengan cara diatur di sebelah kakan –kiri Dalang agar cukup untuk emndalang satu malam. (1979:38)

Perkiraan Adanya Simpingan


Pertunjukan wayang kulit menurut Hazeu sudah ada sejak abad XII, seperti yang tgercabtum dalam serat Arjuna Wiwaha. Dikisahkan orang yang melihat pertunjukan wayang kulit ada yang menangis, heran serta kagum hatinya, meskipun sudah tahu yang dilihat itu adalah kulit yang dipahat. Namun demikian pertunjukan wayang kulit pada abab XII itu belum terdapat petunjuka adanya simpingan. Penonton wayang kulit masih berfokus pada wayang yang dimainkan dalang .

Baru pada abad XII tercantum dalam serat Wrettasancaya seperti yang dikemukakan oleh Hazeu, bahwa pertunjukan wayang kulit sudah memuat petunjuk adanya simpigan ( Simpingan adalah boneka wayang yang ditancapkan berjajar dari yang paing besar hingga yang paling kecil pada layar pertunjukan wayang kulit yang terletak di sisi kanan kiri Dalang.)
Adapun teks Wrettasancaya yang melukiskan adanya simpingan di tulis Empu Tan Akung berupa tulisan jawa kuna pada bait 93 Sekar ageng Madraka disebutkan:

“Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis/bung-bung ingkang petung kapawanan, ya teka tudungnya munyangarangin/peksi ketur salundingan ika kinangsyani pamangsul ing kidang alon/ madraka sabdaning mrak alango sawang pangidungnya mangrasi hati” (Hazeu 1979:42).


Kern menterjemahkan ke dalam bahasa jawa sebagai berikut:

”Nalika semanten katingal sakalangkung asri raras, redi-redi pating regemeng, sakathaing wit-witan kados ringgit, tumawenging mega tipis ramyang-ramyang kados rupining kelir, deling ingkan growong katiyuping angin kados ungeling tudhungan, mungel angrangin anganyut manahm, pamelunging peksi ketur (puyuh, gemak) kados ungeling kempul lan gongipun. Cumengering kidang lamat-lamat kados swantening saron ngelik kaimbalaken, dene ungeling merak ngigel lelaken kados kekidungan sekar madraka ngerujit manah.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

” Ketika itu pemandangan alam sangat indah dan permai selaras adanya. Gunung- gunung bertanaman penuh. Pohon-pohonya laksana wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog. Mega tipis yang hampir tak kelihatan meliputi alam laksana kelir. Bambu Ptung berlobang tertiup angin menimbulkan bahana laksana suara tudungan (suling) yang seakan –akan datangnya dari jakrak jauh, sangat menarik hati. Suara burung gemak terdengar laksana suara kempul dan gong. Diantara kesemuannya itu teriakan Kijang dari kejauhan terdengar sayup-sayup menyamai bunyi saron yang di pukul ”imbal” (bergantian). Suara burung merak yang sedang melampiaskan hasrat asmaranya, suaranya terdengar sangat merdu laksana lagu madraka yang meluluhkan hati.” (Seno Sastroamidjojo 1964:19).

Berita Adanya Wayang


Wayang Indonesia
Membayangi Sejarah Bangsa


Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap, hatur ning wang tresneng wisaya malaha tan wihikana, ri tatwan jan maya sahan-haning bhawa siluman. (Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara. Yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja).

UNESCO, Badan Dunia di Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan telah menetapkan wayang Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia Nonbendawi (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) yang perlu dilestarikan. Penetapan itu menyiratkan pengakuan bahwa wayang Indonesia adalah karya budaya autentik atau indigenous bangsa Indonesia. Namun, ternyata cukup sulit untuk mendapatkan informasi atau data sejarah yang autentik menyangkut wayang Indonesia. Ini mengingat tradisi (sistem) dokumentasi pada bangsa kita memang lemah.

Sangat sedikit sumber tertulis ataupun temuan arkeologis autentik yang bisa memberikan penjelasan dengan data yang valid tentang hal itu. Petikan bait 59 Kakawin Arjuna Wiwaha karya Pu Kanwa (1030) yang dikutip di atas bisa disebut satu-satunya sumber tertulis tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di Kerajaan Kadiri.
Satu-satunya data arkeologis berupa temuan prasasti pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung (899-911 M) menyebutkan, Sigaligi mawayang hayam macarita Bima ya kuwara. Ini menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu. Pada masa sesudahnya, zaman Airlangga (1019-1037), wayang telah menjadi seni pertunjukan untuk umum. Namun, aspek pertunjukan lain sama sekali tidak tergambarkan.

Walau demikian, besar kemungkinan (pertunjukan) wayang telah dikenal jauh sebelum itu. Ini mengingat, kisah-kisah dalam pewayangan berkaitan erat dengan tradisi Hinduisme dan kehadiran agama Hindu di sini. Makna agama Hindu dan Hinduisme sendiri niscaya jauh lebih luas daripada sekadar kisah pewayangan belaka.
Hinduisme, menurut berbagai sumber sejarah, paling tidak dikenal di Nusantara sejak abad ke-5 Masehi, di antaranya pada masa Kerajaan Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur. Kemudian Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sebelum Mataram (Medang) di Jawa Tengah pada abad ke-7. Bahkan, tidak mustahil tradisi Hindu sudah dikenal sebelum itu, yakni semenjak terjadi proses penghinduan atau indianisasi di seluruh wilayah Asia Tenggara sekitar abad ke-2 atau ke-1 Masehi. Ini untuk menjelaskan bahwa budaya wayang telah merasuk dan berkembang sejak lama di tengah masyarakat kita.

KEYAKINAN bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa Indonesia antara lain ditegaskan oleh pakar wayang, Prof Dr Soetarno, Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Surakarta, yang di antaranya membawahi Jurusan Pedalangan. Ia menguraikan argumentasinya secara panjang lebar, baik dari segi sejarah, pengetahuan, konsep estetika maupun teknis, serta filosofis. Wayang, ujarnya, telah dikenal secara meluas di sini dalam bentuk relief di candi, pertunjukan, karya sastra, dan tradisi oral.
Menurut Soetarno, istilah "wayang" sendiri mulai disebut pada Bait 664 Kitab Bharatayudha karya Pu Sedah (1157 M). Juga dalam Kitab Tantu Panggelaran (abad ke-12) disebutkan tentang wayang yang menggunakan bahan dari kulit binatang yang ditatah. Adapun kelir (layar) juga telah digunakan pada masa itu (Kitab Wreta Sancaya). Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang antara lain berupa tudungan dan saron kemanak. Adapun pada Kitab Negarakertagama (abad ke-15) disebutkan, iringan musiknya berupa tambur, gambang, kala, sangha, dan kemanak.

GAJ Hazeu, seorang ahli bahasa dari Belanda yang meneliti tentang wayang, pada tahun 1897 meyakini pula bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan etimologi istilah-istilah yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu dalang, kelir, wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon, wayang berarti bayangan. Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang wayang yang pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik, karenanya juga menjadi sumber informasi paling valid.
Namun, sesungguhnya hingga sekarang amat sedikit hasil penelitian, baik dari luar maupun dalam negeri, mengenai (sejarah) pertunjukan wayang. Priyohutomo pada tahun 1933 menulis disertasi berjudul Nawaruci, juga dari sudut linguistik. Sejumlah sumber tertulis lain seperti Serat Centhini (1823) dan Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang, namun itu lebih didasarkan pada tradisi oral sehingga sulit diyakini validitasnya. Kemudian, Prof Poerbatjaraka dalam Kapustakan Jawi (1952) memaparkan sejumlah hasil penelitian yang di antaranya mengungkap tentang sejarah wayang.

Bagaimana bentuk wayang pada masa itu? Mula-mula, pelukisan sosok wayangnya dibikin "realis" (tiga dimensi), seperti sosok wayang pada relief di Candi Prambanan (abad ke-10), Jawa Tengah. Pada masa Majapahit (abad ke-13), bentuk wayang dibikin agak miring (menyamping), meniru relief di Candi Penataran, Jawa Timur, (bentuk autentiknya bisa kita lacak pada wayang Bali saat ini). Keberadaan candi-candi di atas menunjukkan pengaruh kuat agama Hindu di Jawa. Apalagi relief atau arca yang terdapat di candi-candi tersebut banyak melukiskan fragmen-fragmen cerita "wayang". Candi Prambanan memuat kisah epos Ramayana. Candi Sukuh memuat lakon Sudamala dan Bima Suci yang merupakan bagian dari epos Mahabharata. Candi Panataran, Jawa Timur, memuat Ramayana dan Kresnayana.

Dalam proses yang panjang, antara abad ke-11 hingga akhir abad ke-18, pertunjukan wayang kulit purwa tampaknya terus mengalami perkembangan disertai inovasi-inovasi, baik menyangkut aspek estetika pertunjukan maupun pemaknaan (filsafat). Proses "penyempurnaan" wayang hingga ke bentuk yang kita kenal sekarang berlangsung sejak Kerajaan Demak kemudian Pajang, Mataram, hingga Kartasura.
Mulai masa Kerajaan Demak (abad ke-15), tokoh wayang di atas kulit binatang mengalami stilisasi, yaitu sepenuhnya miring (dua dimensi). Ada yang menyebutkan bahwa perubahan tersebut akibat pengaruh agama Islam yang dalam syariahnya menolak pencitraan manusia secara "realis". Pada masa itu, Sunan Kalijaga konon sangat berperan dalam inovasi pertunjukan wayang kulit ini. Kalijaga yang juga piawai mendalang memanfaatkan media tersebut untuk menyampaikan dakwah.

Pada masa Demak itu, sosok wayang dilengkapi dengan anggota tubuh (tangan) yang bisa digerakkan atau "lepas" (dengan sumbu pada lengan) seperti sekarang. Diciptakan pula ricikan berupa senjata dan hewan sehingga pertunjukan lebih menarik.
Estetika menyangkut seni rupa wayang menunjukkan terjadinya inovasi dari waktu ke waktu, baik menyangkut sosok wayangnya sendiri maupun teknik permainannya. Para seniman perupa pada masa itu menuangkan kreativitas mereka dalam berbagai kreasi dan setiap wilayah (komunitas) menemukan kekhasan mereka sendiri. Apakah itu menyangkut karakter sosok, wanda, ukuran tinggi, gelung, ornamen, aksesori, tatahan, sunggingan (pewarnaan), hingga ke gaya pedalangan.

ALHASIL, dari data sejarah di atas dan proses perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini bahwa wayang adalah karya budaya "asli" karena lahir dan mengalami proses panjang di Indonesia. Meski tidak diingkari bahwa cerita-cerita pewayangan berasal dari tradisi Hinduisme di India, sebagai produk kebudayaan, wayang mengalami proses "pencanggihan" sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan intensitas proses pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi berbagai aspeknya itu agaknya tidak kita kenal pada produk budaya yang lain di nusantara.

Wayang bukan hanya sebatas seni pertunjukan, tetapi juga telah menjadi satu kebudayaan yang tak terpisah dari terbentuknya peradaban bangsa Indonesia. Melalui wayang, kita melihat suatu proses kebudayaan yang menurut para ahli, "tidak terjadi di ruang kosong". Wayang berkembang menjadi ekspresi budaya yang autentik bagi bangsa Indonesia. Selain di Jawa dan Bali, wayang sempat berkembang di Kalimantan, Sumatera, dan Lombok.
Secara obyektif, wayang yang berkembang di Indonesia berbeda cukup signifikan dengan wayang yang ada di India (ataupun di Thailand). Termasuk aspek-aspek pertunjukan yang menyertainya, yaitu menyangkut susastra, iringan musik (karawitan), dramatisasi atau seni pemanggungan. Sementara dari sisi pemaknaan, wayang telah mengendapkan nilai-nilai filosofis yang mengekspresikan sekaligus merepresentasikan peri kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, dalam perkembangannya, kisah-kisah wayang yang tercipta dan kemudian memasyarakat merupakan hasil local genious.

Kakawin Arjuna Wiwaha, misalnya, berbeda dari cerita aslinya dalam Mahabharata di India. Arjuna Wiwaha ditulis oleh Pu Kanwa sebagai metafora perjalanan hidup Raja Airlangga. Dengan menyebutkan Airlangga sebagai titisan Wisnu, karya sastra ini menjadi legitimasi bagi Airlangga untuk memegang tampuk kekuasaan. Begitu pula dengan Bharatayuddha gubahan Pu Sedah dan Pu Panuluh (1157 M) yang berbeda dari aslinya. Dan pada pertengahan abad ke-19, Mangkoenagoro IV menciptakan kisah Dewa Ruci. Ini kisah Bima yang mencari air amerta dan disimbolkan sebagai pencarian akan sangkan paraning dumadi (asal-usul kehidupan), satu laku mistik khas Jawa.

Sebagai hasil interaksi, budaya wayang mempengaruhi segala ekspresi keseharian masyarakat, termasuk dalam pembentukan adat istiadat, tradisi, filsafat, ajaran-ajaran moral, dan etika. Pada masa itu, hubungan antara pertunjukan wayang dan masyarakat niscaya bukan sekadar interaksi antara publik dan tontonannya belaka. Ini pada gilirannya memberikan pengaruh bagi pembentukan nilai-nilai yang kompleks dalam tatanan sosial serta ketatanegaraan.
Wayang pada masanya merupakan bagian tak terpisah dari kepercayaan Hinduisme. Barangkali bisa diibaratkan, agama Hindu sebagai daging, sedangkan wayang sebagai aliran darahnya. Wayang bagi masyarakat ketika itu bukan semata-mata mitologi (kisah para dewa), melainkan telah menjadi bagian dari kosmologi (dunia pikir) yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan kehidupan sehari-hari. Barangkali, secara mudah di zaman ini kita bisa meniliknya pada peri kehidupan umat Hindu di Bali.

DARI zaman ke zaman, inovasi dan kreasi-kreasi dari berbagai aspek pertunjukan wayang ini mengalami perkembangan secara intensif. Pertunjukan wayang sendiri kemudian juga mengalami keragaman bentuk dan media.
Selain wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan Mahabharata), ada pula wayang beber (kisah Panji). Kemudian dikenal wayang madya (zaman sesudah Parikesit), wayang gedog (siklus Panji), wayang klithik (kisah Damarwulan), wayang golek (dari Serat Menak), wayang dupara (Babad Mataram II), wayang krucil (kisah Damarwulan), wayang kancil (fabel), wayang perjuangan (1945), wayang suluh (1945), wayang pancasila (1947), wayang wahyu (1960), wayang buddha (1979), wayang sandosa (1980), wayang sadhat (1984), wayang kampung (2002), dan wayang sang pamarta (2003).

Belum lagi yang mengambil bentuk atau media pertunjukan lain, seperti wayang orang, wayang topeng, langen mandra wanaran, sendratari wayang, wayang jemblung. Dan dalam bentuk kontemporer muncul kreasi wayang nggremeng, wayang suket. Setelah kemerdekaan, wayang juga dikenal lewat komik antara lain oleh pelukis RA Kosasih, Ardisoma, Urip, Indri S, Effendi, Jan Mintaraga, dan Teguh Santosa.
Wayang pernah dibikin lewat media film, sinetron di televisi, belakangan lahir pula wayang multimedia, wayang animasi, wayang listrik, wayang cyber. Dan tak kurang pula teater modern yang mengambil inspirasi cerita dari kisah pewayangan, begitu juga dalam bentuk cerita pendek dan novel.

Wayang agaknya akan terus mengilhami ekspresi-ekspresi budaya dalam beragam bentuk dan media di Indonesia. Bentuknya bisa berubah dan mengalami metamorfosa di luar perkiraan kita. Namun, lebih dari itu, kosmologi wayang tampaknya akan terus memberikan jejak pengaruh cukup jelas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.(Ardus M Sawega)

Wednesday, October 04, 2006

Dalang Wayang Kulit


Dalang Wayang KulitSeseorang yang mempunyai keahlian khusus dalam meyajikan pementasan wayang kulit. Seorang Dalang mampu berceritera semalam suntuk dengan didukung oleh pengrawit, pesinden dan menggunakan peralatan gamelan, wayang, sounsistem dan panggung.Certitera yang dibawakan beragam dan bisanya menggambil ceritera dari Epos Ramayana dan Mahabarata, dan juga ceritera-ceritera asli Indonesia seperti Murwakala,Dewa Ruci, Sudamala dan sebagainnya.Dalam pergelaranya Dalang mempunyai peran ganda. Peran Dalang; sebagai aktor tunggal, penata iringan, penulis lakon, sutradara, pemain, penata gerak, penata panggung, penata artistik dan lainnya.

Pada jaman dulu Dalang disebut sebagai "Dhahyang" yang berarti seseorang yang mempunyai kelebihan tertentu di lingkungan masyarakatnya. Bahkan di desa-desa jaman dulu, Dalang tidak hanya "Mayang" (mendalang) tetapi juga melakukan laku darma dengan memberikan pertolongan kepada yang perlu mendapat pertolongan. Dalang bahkan menjadi tempat konsultasi berbagai masalah individu, keluarga, dan kemasyarakatan.

Dalam masalah individu dalang sering menjadi tempat konsultasi masalah pribadi seseorang yang sedang mengalami kesulitan. begitu pula dengan masalah keluarga. Dalam masalalah kemasyarakatan ditandai dengan adanya "Dalang mupu anak" (Dalang mengangkat anak asuh). Jaman dulu bila ada bayi lahir pada saat ada wayang dimainkan maka bayi itu milik Ki Dalang yang sedang pentas. Bayi di bawa ke panggung pergelaran dan di pangku oleh sang Dalang serta diberi nama. Pada dewasanya anak ini menjadi anak angkat Dalang tersebut. sehingga Dalang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah, sandang dan sekolah anak tersebut.